Ah, Pengamen Itu…

Gambar

Dari lokasi penginapan GG House di Bogor, naik mobil baru seorang kawan turun di kawasan UKI/Cawang. Dari situ, berjalan kaki sekira 200 meter untuk mencapai kolong jembatan Cawang, Jakarta Timur. Bersama panas mentarai dan debu jalanan, menanti bus jurusan Pulo Gadung atau Tanjung Priok, menuju kantor di Utankayu.

Yang tiba ternyata bus bernomor 43, dari arah UKI. Sebuah bus bekas yang diimpor dari Cina, itu mirip bus transjakarta dengan pintu di bagian tengah. Kupanjat tangga bus, dan supir segera memicu gas.

Tak penuh sesak bus ini. Sejumlah kursi berlapis kulit sudah mengelupas masih kosong. Ku pilih duduk dekat jendela belakang, berjauhan dengan penumpang berbadan besar yang duduk mengangkang di bagian belakang. Rahang-rahangnya besar, rambut sebahu dengan kalung dari besi tebal. Lelaki itu, seakan menakuti siapa saja yang hendak duduk di dekatnya.

Bus berhenti, mengisi kekosongan kursi atau menumpuk para penumpang untuk berdiri. Kernet penuh peluh mulai menarik ongkos dari para penumpang. Sisa ongkos kembalian, kulipat dalam kantong sebelah kanan. Beberapa lembar uang ribuan bercampur.

Seorang pengamen mulai berdendang di tengah deru mesin dan teriakan dari kernet. Memukul-mukul tempayan yang sudah dimodifikasi dengan gagang sapu. Ketukannya dari benda itu, sementara nadanya berasal dari suara yang terdengar fals. Syair religi memadati seisi bus. Pengamen berusia muda, berkotbah tentang arti kemanusiaan yang adil dan beradab. Pengamen yang kulitnya terbakar matahari, berteriak tentang arti ketuhanan dan kehidupan sosial. Semua penumpang di dalam bus, tak bisa menolak mendengar. Merenung, memaki atau memikirkan hal yang lebih penting dari itu.

Selesai mengamen, pemuda dengan gelang penuh di pergelangan tangan kiri menadahkan tempayan ke setiap penumpang. Kurogoh selembar uang ribuan, lalu memasukkan ke dalam tempayannya. Tak mau menoleh ke wajahnya. Bus tetap melaju, dan berhenti di sembarang tempat. Penumpang semakin padat.

Dari balik jendela bus, kulihat dua bocah berlari mengejar bus. Saat itu, di antara pintu masuk tol Prumpung, jejak debu jalanan masih menggantung di lutut mereka. Tangan menggenggam gagang pintu bus, sekuat tenaga menarik diri ke dalam bus. Semua penumpang tetap pada pendiriannya. Kosong.

Kedua bocah pengamen, mulai bernyanyi dengan ukulele dan tamborin. Bernyanyi tentang lagu cinta monyet. Bersandar pada kursi penumpang di bagian tengah. Panas menembus jendela, keringat bercucuran. Ingin cepat sampai tujuan.

Selembar uang ribuan kembali keluar dari kantong. Dua pengamen, tampaknya tak senang dengan pendapatan di bus ini. Hanya selembar uang ribuan, dan tiga koin ratusan perak. Mereka lalu ikut turun di antara penumpang yang sudah sampai tujuan.

Kulihat di jendela, bayangan seorang pengamen muda. Bernyanyi dengan gitar dan harmonika. Mengarungi kehidupan jalanan untuk mencapai harapan. Menantang hitamnya hari, meraba-raba masa depan tak pasti. Lalu ia di sini. Di dalam rekaman kepala. Ah, pengamen itu…

Kupejamkan mata, dan mulai bernyanyi dengan gitar dan harmonika. Menghibur orang-orang yang mulai membatu, menyatu dengan hitamnya hari.

Leave a comment